Life is a celebration of infinite possibilities!


Aswatama

Angin bertiup sayu, pada senja yang pilu. Ribuan mayat tergeletak penuh luka. Amis darah terkalahkan sengatan bau bangkai yang mulai membusuk. Kawan dan lawan sama saja pada akhirnya, terbujur kaku tak berdaya pada serbuan ribuan burung bangkai yang berpesta.

Perang besar bangsa Bharata mungkin telah usai, seluruh Kurawa bersaudara yang seratus jumlahnya telah binasa. Pasukan yang tersisa kocar-kacir entah kemana. Tapi kebencian tak menyerah begitu saja. Kebencian mengembara dan menemukan Aswatama duduk sendiri pada sebuah bukit di pinggiran Kurusetra.

Aswatama mendesah, matanya nanar, pikirannya kalut. Ia memang berada di pihak yang kalah, sudah tak ada lagi yang patut diperjuangkan olehnya. Tapi entah mengapa ia merasa muak tiap kali memikirkan bagaimana ayahnya terbunuh. Ia tahu tak satupun panglima dari pihak Pandawa mampu menandingi kesaktian yang dimiliki ayahnya - Begawan Dorna, kecuali Kresna. Tapi Kresna telah bersumpah tak akan ikut bertarung.

Pikirannya penuh spekulasi ketika benci merasukinya. Panah Prabu Drestadyumna menembus leher ayahnya terbayang dihadapannya. Ia melihat darah semerah marah terpancar, Ia melihat ayahnya meregang nyawa, dan tersungkur di kaki Yamadipati. Sekali lagi ia mendesah.

Aswatama melangkah pergi, ia bertekad untuk menuntut balas. Ia akan menghabisi seluruh Pandawa yang lima jumlahnya sebagai bayaran atas dendamnya. Dalam lindungan malam ia menyelinap ke kemah pasukan Pandawa. Ia menunggu sampai penghujung malam ketika mimpi membuai seluruh musuh-musuhnya.

Dalam gelap ia menuai benci, lima nyawa yang terlelap dalam tidur melayang sudah. Aswatama merasa lega, lima putra Pandu telah tuntas di tangannya. Ia meraung meneriakkan kemenangan. Seketika orang-orang terbangun, kegaduhan terjadi. Terdengar pekik tercekat dari Drupadi, ia menyaksikan kelima putranya tewas dengan leher tergorok. Aswatama segera tersadar, ia telah salah sasaran membunuh putra-putra Drupadi, bukan para Pandawa. Raungannya segera berubah menjadi pekikan kekecewaan.

Setelah sadar apa yang terjadi, Arjuna berlari mencari biang keladi. Ia mendengar pekik Aswatama dan mengejarnya. Baku hantam tak terelakkan, Arjuna yang marah dengan bernafsu ingin segera menghabisi Aswatama. Segebrak dua gebrak Aswatama terdesak, ia mengambil langkah mundur sambil merapal ajian Brahmastha yang dahsyat. Dari kedua belah telapak tangannya mengeluarkan berkas sinar biru menyilaukan, menggumpal dan mengeluarkan suara desing menakutkan.

Arjuna tentu tahu ajian ini, dan juga tahu bahwasanya ia dalam bahaya. Secara refleks ia merapal ajian yang sama. Tarian cahaya biru segera memancar dari kedua belah tangannya, suara desing menderu-deru. Kini keduanya berdiri menghimpun energi sampai ke taraf yang paling tinggi.

Ajian Brahmastha diajarkan oleh Begawan Dorna kepada anaknya, dan juga kepada Arjuna sebagai murid kesayangannya. Kini keduanya berhadapan dalam perang hidup mati berselubung dendam.

Seketika kelam malam menyingkir, langit dipenuhi tarian lidah api laksana sejuta halilintar terlontar bersamaan, suara desing yang bersahutan mengalahkan ribuan guntur, laksana hendak merobek gendang telinga.

Kresna menghardik berupaya menahan keduanya untuk tidak melepas ajian tersebut. Kresna tahu apa yang akan terjadi bila keduanya berbenturan. Pusaran energi yang tercipta akan menarik seisi dunia ke dalamnya, bukan hanya kehancuran dunia, tetapi lenyapnya dunia dari Triloka. Kresna tak hendak membiarkan hal ini terjadi. Bahkan Kresna harus meninggalkan raga dunianya, menjelma ke wadag aslinya sebagai Batara Whisnu untuk masuk ke dalam nurani keduanya, membuka mata batin keduanya pada dendam yang meraja.

Arjuna tersadar pada dendam yang sesaat saja dapat membawa kehancuran dunia, ia segera menarik ajiannya. Seketika tubuhnya lunglai. Tak lama kemudian, Aswatama mengecilkan pula ajiannya, tetapi dendam tetap menghasut dirinya untuk mengambil sedikit kesempatan. Ia melampiaskan sisa ajiannya pada Utara yang tengah mengandung. Seketika hanguslah Utara dan bayi dalam kandungannya.

Bima yang telah pula bersiap menyergap Aswatama maju dengan ayunan gadanya. Aswatama merasa desakan tenaga sebesar gunung menekan dadanya, tapi ia berhasil mengelak. Pertarungan keduanya tak terelakkan. Aswatama yang terkuras tenaganya bukanlah lawan Bima, sebentar kemudian kepalanya hancur terpukul gada Bima.

Aswatama tersungkur. Batok kepalanya belah, darah merah memancar membasahi tanah. Sebentar kemudian darah tersebut serasa bergolak, mendidih dan mengeluarkan gelembung-gelembung dendam yang menguap dan lalu bersama hembusan angin. Angin menerbangkan gelembung dendam melintasi jutaan kalpa, terhirup dalam napas tiap insan, mengendap meraja dalam hati, hingga ke akhir jaman.


Bangkok, 22 April 09

No comments:

Post a Comment