Duryodana memang arogan, tapi ia bukan orang yang bodoh. Sebagai putra tertua dari Destarata, Raja Hastina, Duryodana tentu saja merasa sah sebagai pewaris tahta dan dia tak habis pikir ketika ayahnya mewariskan tahta kerajaan pada Yudhistira. Duryodana berang bukan kepalang, dia bersiasat untuk melenyapkan seluruh putra Pandu. Nafsu untuk berkuasa bersekutu dengan kenangan-kenangan buruk masa kecil, kenangan tentang perlakuan Bima padanya dan saudara-saudaranya. Bima adalah yang terkuat di antara mereka, dan dengan kekuatannya itu ia sering mempermainkannya dan seluruh saudaranya.
Duryodana bersiasat, sebuah siasat yang berujung pada terusirnya putra-putra Pandu dari Hastina. Duryodana tahu, ia harus menghabisi semuanya sebelum mereka membangun kekuatan dan datang mengalahkannya.
Untung bagi Duryodana, Hastina bukan kerajaan yang kurang orang pandai dan sakti. Bhishma masih segar bugar walaupun usianya bisa dikata tua renta, dan semua tahu bahwa Bhishma diberikan keleluasaan oleh para Dewata untuk memilih sendiri hari matinya. Bhishma tak terkalahkan oleh lelaki manapun juga dan punya sumpah untuk membela dan mempertahankan Hastina dari serbuan musuh. Duryodana tahu dan paham, walaupun Bhishma sayang pada anak-anak Pandu, ia tak akan mengalah. Mungkin terlalu naif mengharapkan Bhishma akan memberikan kemenangan baginya, tapi ia bisa berharap bahwasanya Bhishma tak akan mengalah.
Juga ada Dorna, maha guru para Korawa dan Pandawa. Kesaktiannya hanya dapat tertandingi oleh Kresna, titisan Batara Vishnu yang menjadi sekutu putra-putra Pandu. Duryodana bersiasat mengikat Kresna dalam sebuah sumpah untuk tidak melibatkan diri secara langsung dengan turun berperang seandainya memang putra-putra Pandu datang menuntut tahta Hastina.
Juga ada Karna. Ia adalah kunci bagi tahta Duryodana. Bila Bishma dan Dorna punya keterikatan rasa sayang pada putra-putra Pandu, tidak demikian halnya dengan Karna. Karna membenci saudara-saudara tirinya, setelah putra-putra Pandu mencampakkannya dan menghina dirinya. Ya, Karna memang dilahirkan oleh Kunti, ibu dari Yudhistira, Bima dan Arjuna, tapi ia berayah Batara Surya. Sebuah kelahiran yang tak dikehendaki, sebuah kemuskilan yang tak dapat ditolak, oleh karenya Karna lahir melalui telinga, kemustahilan yang diamini dewa-dewa untuk menjaga keperawanan Kunti.
Duryodana lah yang mengangkat harkat dan harga diri Karna, Duryodana lah yang membagi kerajaan dan menjadikan Karna rajanya. Duryodana tahu, bahkan Arjuna, putra Pandu yang paling sakti, bukanlah lawan Karna. Duryodana tahu, Karna memiliki senjata Konta, anugrah Batara Brahma. Tombak yang hanya dapat dipakai sekali, membunuh tanpa luput.
Duryodana sendiri bukan raja tanpa kesaktian, ia juga murid dari Dorna. Gadanya mungkin tak segarang Bima, ia juga memiliki anugrah dari ibunya. Tubuhnya tak akan hancur oleh pukulan gada Bima. Baginya hanya perlu satu kelengahan Bima untuk menghancurkan batok kepalanya. Duryodana merasa kekalahan adalah sesuatu yang absurd. Sesuatu yang hampir pasti tak mungkin terjadi.
Dan Duryodana menunggu hari yang diramalkan tiba, Bharata Yudha. Perang saudara bangsa Bharata antara Korawa bersaudara yang seratus jumlahnya dengan putra-putra Pandu, yang lima jumlahnya. Hari yang ditunggu Duryodana untuk menumpas habis seluruh Pandawa bersaudara.
Entah mengapa Dewa-Dewa berpihak pada Pandawa dan bersiap menghukum Korawa. Bila Duryodana berbuat curang pada permainan dadu yang berakhir hilangnya tahta Hastina bagi putra-putra Pandu, adalah Yudhistira yang bernafsu bahkan mempertaruhkan Drupadi, istrinya dalam pertaruhan tersebut.
Sangkakala di tiup, bunyinya mengaung serupa bunyi sabetan pedang Yamadipati, dewa kematian. Gajah-gajah meraung ketika tambur tanda maju berperang dibunyikan. Panah mengucur dari langit bagai hujan, darah muncrat mewarnai padang Kurusetra semerah marah. Kepala-kepala dengan mata melotot, terpenggal dari badan. Bergelimpangan tak terhitung jumlahnya.
Tak ada tanda-tanda pasukan Hastina kalah, suatu hal yang mencemaskan seluruh panglima perang Pandawa. Mereka mendesak seseorang untuk mengalahkan Eyang Bhishma, yang menjadi panglima perang Hastina. Seseorang yang mereka tidak tahu siapa, seingat mereka tak ada dipihak mereka yang mampu membunuh Bhishma, tidak Bima, juga Arjuna. Mereka dilanda kepastian binasa, sampai Kresna memecah kesunyian dengan mengungkapkan suatu rahasia purba. Suatu kejadian di masa lampau yang tak diketahui oleh para Pandawa, bahwasanya Bhishma terikat sumpah untuk tidak akan pernah melawan wanita.
Bhishma memang mempersiapkan hari matinya, dan hari itu ia rebah oleh ribuan panah Srikandi. Istri Arjuna yang merupakan titisan Amba, yang dulu tewas olah panah Bhishma dan bersumpah akan menuntut balas. Bhismha rebah berbantalkan panah, kepalanya ditopang oleh tiga buah anak panah Arjuna. Pada senja di hari yang baik, Bhishma meninggalkan padang Kurusetra selamanya bersama lembayung yang menggelayut, meninggalkan tangis bagi seluruh bangsa Bharata.
Perang berlanjut, Duryodana meminta Dorna untuk memimpin pasukan Hastina. Keadaan menjadi lebih buruk bagi para Pandawa, panah Dorna menewaskan lebih banyak orang dibandingkan panah-panah Arjuna. Kepanikan mulai melanda pasukan Pandawa, pertemuan strategi di kubu Pandawa hanya berisi keluh kesah dan keputusasaan. Sampai lagi-lagi Kresna berbicara.
Kresna mengisyaratkan satu hal untuk membunuh Dorna, bunuhlah harapan dan alasannya untuk hidup. Bunuhlah anaknya, maka semangat hidup Dorna akan lenyap. Tapi Duryodana bukan raja yang tak paham taktik, sejak awal dia tahu hal ini, dia telah memerintahkan Aswatama, anak Begawan Dorna untuk menjadi panglima pasukan logistik, pasukan yang berada jauh dari medan peperangan.
Kresna meminta semua orang percaya padanya. Ia memerintahkan Bima untuk membunuh seekor gajah, yang namanya Aswatama dan berteriak keseluruh medan perang. "Aswatama gugur!". Tentu saja Dorna guncang, tapi ia bukan orang bodoh. Ia harus melakukan pengecekan, ia harus meneliti berita itu. Ia tahu Bima bukan orang yang bisa dipercaya, hanya Yudhistira lah yang selama ini menjaga kejujurannya. Bahkan para dewa menganugerahi kejujuran Yudistira, kereta perangnya tak pernah menyentuh tanah.
Kresna meminta Yudistira untuk mengiyakan bilasanya Dorna bertanya. Sungguh suatu permintaan yang sangat sulit untuk Yudistira, ia rela memberikan kerajaannya, tapi tidak untuk mengiyakan sesuatu yang ia tahu bukan kebenaran. Kresna meyakininkannya, tak perlu berkata-kata, hanya perlu mengangguk.
Ketika akhirnya Bima meremukkan kepala gajah Aswatama dan berteriak lantang "Aswatama gugur!", ketika Dorna datang kepadanya dengan penuh kecemasan dan bertanya. Yudistira hanya mengangguk (dan berkata dalam hati.. "Ya, gajah Aswatama gugur dihantam Bima!"). Seketika Dorna pucat pasi, semangat hidupnya meredup, kesaktiannya menguap, dan Kresna berteriak pada Arjuna untuk melepas panah saktinya. Dorna gugur.
Peperangan berlanjut berhari-hari kemudian. Tak ada tanda-tanda kelemahan di pihak Hastina, walaupun 2 orang panglima perangnya gugur. Hari itu Duryodana meminta Karna untuk memimpin balatentara Hastina dan untuk membalas budi, Karna menyetujuinya.
Dewi Kunti terhenyak, dia tak mungkin membiarkan anak-anaknya saling bunuh. Ia tahu bahwasanya Karna sanggup membunuh seluruh Pandawa seorang diri. Diam-diam ia menyelinap ke tenda Karna, dan sambil menangis ia memohon agar Karna tidak pergi ke medan perang. Karna berujar, "Ibu, aku tahu engkau mencintai Arjuna, lebih daripada yang lainnya, dan aku adalah anak yang tidak pernah engkau kehendaki. Engkau mencampakkan aku, dan membiarkan aku bersumpah membela Duryodana, karena dialah satu-satunya yang membelaku ketika seluruh Pandawa, saudaraku, menghina keberadaanku. Dan kini, Engkau meminta aku berpaling dari sumpahku?"
Dewi Kunti kehabisan tangis, ia tersadar akan kebenaran kata-kata itu. Walaupun tak ada kebencian dalam seluruh kalimat Karna, ia tahu bahwa ia meminta hal yang tidak mungkin. Akhirnya Karna berucap, "ibu, aku tidak akan membunuh kedua putra Dewi Madrim, Nakula dan Sadewa. Aku juga tidak akan membunuh kedua putramu, Yudistira dan Bima. Itu janjiku padamu sebagai ibuku!"
Kresna tahu bahwasanya Dewi Kunti pergi menemui Karna. Ia bertanya padanya apa yang terjadi, dan sambil menahan suaranya ia mengulang janji Karna padanya. ”Ia akan membunuh Arjuna. Ohh.. Kresna, apa yang mesti kita perbuat?”
Di medan perang, Kresna yang menjadi sais kereta perang Arjuna, memperhatikan dengan seksama tanda-tanda keberadaan Karna. Dan diam-diam dia membawa Arjuna menjauhinya. Berhari-hari, Karna mengobrak-abrik pasukan Pandawa, moral pasukan hancur dan Yudistira mengeluh. Ia meminta Arjuna maju untuk menghadapi Karna. Arjuna merasa heran, mengapa ia tidak pernah berjumpa Karna di medan pertempuran dan meminta Kresna untuk membawanya menghadapi Karna.
Tentu saja Kresna tak akan membiarkan hal itu terjadi, paling tidak selama Karna masih memiliki senjata Konta pemberian Batara Brahma. Kresna diam-diam meminta Gatotkaca datang menemuinya. Kemudian ia meminta Gatotkaca untuk menghadapi Karna keesokan harinya. Gatotkaca paham arti permintaan tersebut, Kresna memintanya untuk mengorbankan diri. Kresna mengirimnya untuk misi bunuh diri. Oleh karenanya, pagi-pagi ia bangun dan memberi salam bagi seluruh keluarganya. Tapi ia tak menemui Bima, ayahnya. Ia khawatir bila Bima tahu apa rencana Kresna, Bima yang akan pergi menghadapi Karna.
Tak mudah mengalahkan Gatotkaca, anak Bima dari Dewi Arimbi, yang ketika lahir membuat guncang kahyangan dan diceburkan ke dalam kawah Candradimuka. Dengan ajian Halimunnya, ia bersembunyi di balik mega. Dengan tiba-tiba ia akan mengirim tinju ke arah Karna. Karna tentu saja tak terima dijadikan bulan-bulanan Gatotkaca, ia berteriak agar Gatotkaca keluar dan bertanding secara ksatria. Tapi Gatotkaca mengejek Karna, dan mentertawakan ketidakmampuan Karna untuk mengalahkannya. Karna pun gusar, harga dirinya berontak, tanpa sadar ia melepaskan Kontawijaya.
Mega-mega tak mampu menyembunyikan Gatotkaca dari Kontawijaya, ia melesat menembus lambung sang Jabang Tetuka. Gatotkaca menyeringai, ia tahu ia berhasil melaksanakan taktik Kresna. Seketika, senjata Konta tersebut sirna dalam bentuk sinar putih melesat ke angkasa. Gatotkaca merasa napasnya memburu, waktunya tak banyak lagi. Ia kemudian mengambang di udara dan bertiwikrama. Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar gunung. Ketika nyawanya beranjak, tubuhnya jatuh menimpa ribuan pasukan Korawa. Gatotkaca gugur, seluruh pandawa berduka. Bima bagai kerasukan setan begitu tahu putranya gugur. Hanya Kresna yang mengetahui dan lega karena Karna kehilangan senjata andalannya.
Tanpa senjata andalannya, Kresna membawa kereta Arjuna langsung ke arah Karna. Keduanya bertemu di tengah padang kurusetra. Seketika mendung meraja, suasana berubah senyap, angin dingin menggantung. Batara Indra hadir menyaksikan putranya, Arjuna bertarung.
Hanya kereta Karna yang diterangi sinar mentari, Batara Surya menyinari hari-hari terakhir anaknya di bumi yang fana, sebelum akhirnya gugur sebagai ksatria. Para bidadari menangis, dan tetesan air matanya berubah menjadi ribuan bunga yang jatuh dari angkasa menutupi tubuh Karna.
Apa yang tersisa bagi Duryodana. Kemustahilan itu akhirnya datang juga padanya. Seluruh saudaranya tewas dalam pertempuran, bala tentaranya kocar-kacir, para panglima kepercayaannya gugur. Padang Kurusetra terasa menyesakkan kini, medan pertempuran yang pernah menjanjikan kegemilangan raja di raja manusia, kini menghantuinya. Dadanya terasa panas, kakinya berat, pandangannya kabur. Ia menepi dan membiarkan air danau menenggelamnya. Sejenak ia ingin mendinginkan tubuhnya yang serasa mendidih.
Apa yang kini tersisa baginya? Ah air danau memberinya sedikit kesegaran, ia menerawang ingatan-ingatannya. Pada masa-masa kecilnya, ketika mereka semua masih menjadi murid guru Dorna. Pada kekonyolan-kekonyolannya, pada ibu dan ayahnya yang telah tua dan hancur hatinya kehilangan seluruh anak-anaknya. Kebenciannya pada Pandawa terasa melenyap dalam ingatan-ingatan indah akan masa lalunya.
Tiba-tiba danau terasa berguncang. Suara menggelegar dari tepi danau memanggil-manggil namanya. Ia tahu itu suara Bima, ia tahu Bima membencinya dan bersumpah membunuh dan meminum darahnya sebagai balasan atas penghinaannya terhadap Drupadi. Tapi ia tak takut pada Bima, ia tak pernah takut pada kematian, dan kini ia tak lagi takut kehilangan apa-apa.
Ia keluar menemui Bima yang telah siap dengan gadanya. Ia sengaja memberikan pandangan mengejek pada Bima, juga pada para Pandawa lainnya. Ia mengejek mereka yang datang beramai-ramai bagai hendak mengeroyoknya. Sepertinya ia tahu, bahwa Pandawa itu punya kutukan untuk gampang terbakar amarah dan bersumpah. Kata-katanya segera berbuah taruhan dari Yudistira. Seolah tanpa berpikir, Yudistira mengucap sumpah. Bila ia bisa mengalahkan Bima, maka para Pandawa akan mengakui kekalahan dalam perang ini. Dan Duryodana boleh mengambil tahta Hastina selamanya. Tentu saja sumpah tanpa pikir-pikir ini membuat Kresna bagai tersambar petir. Hanya ia yang tahu bahwa Bima tak bisa membunuh Duryodana sembarangan, karena anugrah yang diberikan oleh Dewi Gandhari, ibunya. Duryodana kebal terhadal semua jenis senjata, kecuali pada pangkal pahanya. Kresna tahu karena dulu, dialah yang membuat tipu daya agar anugrah tersebut tak seluruhnya terserap oleh tubuh Duryodana.
Bima segera memulai serangan, tak lama ia berhasil menghantam kepala Duryodana dengan gadanya. Bunyi gemeretak menakutkan keluar dari benturan itu. Duryodana terhuyung dan jatuh. Bima berteriak penuh kemenangan. Tapi cuma sesaat, sesaat saja Duryodana jatuh, kemudia ia bangkit segar buga seperti tak terjadi apa-apa. Tentu saja Bima merasa dipermainkan, berulang kali gadanya berhasil menghantam batok kepala Duryodana, dan berulang kali ia terhuyung, jatuh untuk kemudian bangkit kembali sambil terkekeh-kekeh.
Yudistira mulai cemas, seluruh Pandawa mulai cemas. Apa yang sesungguhnya terjadi, tidak mereka pahami. Yudistira merasa bersalah terlalu cepat mengucap sumpah, kini ia tidak begitu yakin Bima bisa membunuh Duryodana. Diam-diam dia memberi tanda pada Arjuna untuk memanah Duryodana. Hal ini diketahui oleh Kresna dan segera ia menghalangi niatan Arjuna. Sungguh tak pantas bagi kehormatannya membiarkan itu terjadi.
Kresna juga tak dapat membiarkan Duryodana pada akhirnya mengalahkan Bima yang kelelahan. Diam-diam ia menepuk-nepuk pahanya sendiri. Sekilas bahasa tubuhnya itu seperti orang yang cemas, tetapi juga seperti tanda untuk Bima. Seranglah bagian paha Duryodana. Bima yang kehabisan akal, juga kehabisan napas, memahami pesan Kresna tersebut. Ia menjatuhkan diri dan membiarkan Duryodana mendekat dan bernafsu untuk segera mengakhiri Bima yang kelelahan. Tapi apa daya, Bima yang telah bersiap bergerak memukul pangkal paha Duryodana terlebih dahulu. Dentuman dahsyat terdengar saat gada Bima menghancurkan paha Duryodana. Ia jatuh tersungkur, meraung kesakitan. Bima sesaat terpaku, tapi kemudian ia menerjang, menindih tubuh Duryodana, merobek dadanya dan meminum darah dari jantung Duryodana. Bima kemudian membasahi kepalanya dengan darah Duryodana. Sampai akhirnya Kresna berteriak, ”Cukup Bima, sumpahmu sudah terlaksana. Jangan kau biarkan amarah dan benci terlalu lama menguasai dirimu!”
Tubuh Duryodana terkulai, dadanya terbuka, baju perangnya bersimbah darah. Lalu langit terbelah, cahaya putih memancar bagai ribuan air hujan yang turun membasahi bumi. Kidung para bidadari terdengar mengalun bersama mega-mega yang berarak memberikan penghormatan padanya. Konon, ia mengangkasa diterima di swargaloka.
Bangkok, 1 Maret 2009
Kok beda dengan Mahabarata ANTV Bro
ReplyDelete