
Ia susuri jalan itu sampai jauh, di kiri-kanannya jajaran toko-toko mulai berbenah dan sebagian telah menutup gerainya. Lampu jalan memberi sedikit terang, tak lebih terang dari neon-neon papan iklan toko yang menggantung. Adzan magrib tak berkumandang disini. Tak seperti di kampungnya, dimana senja adalah perselingkuhan lembayung jingga, bintang timur, dan kumandang suara muadzin yang bersahut-sahutan.
Temaram saat senja datang sejak lama membuat pandangannya kabur, entah karena kini ia membutuhkan kaca mata atau senja seharusnya memang begitu. Seekor anjing berlari melewatinya, tak acuh pada tumpukan sampah yang teronggok di sana-sini jalan.
Sejenak kemudian ia sampai di depan sebuah mini market, ia melongok ke dalam. Beberapa pelanggan tampak berupaya memenuhi keranjang belanjaan mereka, beberapa orang mengantri di kasir. Si kasir tampak serius, memandang curiga lembaran uang yang diterimanya, mengecek keasliannya di bawah sinar ultra-violet, lalu menghitung kembalian dengan cermat. Ia hanya sejenak menatap pelanggannya seolah menyuruhnya lekas membayar saja dan pergi. Entah mungkin karena sudah punya janji, entah karena lelah, atau karena memang itu perwatakannya.
Tak ada niatan untuk masuk, ia tak punya kepentingan. Ia mencari ruang pada emperan mini market untuk duduk, kakinya lelah. Hatinya sedikit terhibur dengan udara sejuk AC yang menghambur dari pintu setiap kali ada pelanggan yang masuk ataupun keluar. Udara di sini memang seperti tak terpengaruh senja, panas tetap saja menggantung walau matahari telah terbenam.
Dari tasnya ia mengeluarkan sebungkus rokok, isinya tinggal sebatang dua batang. Sejenak kemudian, harum cengkeh yang terbakar terbungkus asap tembakau serasa menghangati paru-parunya.
Ia mencoba berhenti merokok sejak lama. Ia tahu rokok tak baik bagi batuknya, tapi berulang kali ia berhenti hanya untuk memulai kembali. Ia tak lagi terlalu perduli akan mati karena kanker paru-paru atau radang otak seperti yang diiklankan di bungkus rokoknya. Ia merasa mungkin saja ia akan binasa karena beribu sebab lainnya. Beribu sebab remeh-temeh yang kini tak terpikir olehnya. Bukankah orang bisa mati karena menyeberang jalan, atau bahkan saat bercinta dengan selingkuhannya.
Baginya kini, peringatan tentang bahaya merokok tampak sama absurd seperti peringatan orang-orang di kampungnya yang berbondong-bondong menabuh bedug, kentongan dan segala macam bunyi-bunyian pada saat gerhana matahari untuk mengusir Buto Kala, sambil berteriak-teriak memperingatkan perawan-perawan kampung untuk bersembunyi di kolong ranjang bila tak ingin dibawa pergi sang Buto. Dulu memang ia sangat takut pada Buto. Mungkin saja sang Buto lapar dan ingin seorang anak kecil untuk santapannya! Ia pun ikut bersembunyi di kolong ranjang.
Pikirannya mengawang dan bermain dengan kepulan asap dari hidungnya yang lalu lenyap tersaput angin. Mimpinya tak lagi rumit dan masa depan tak lagi menjajahnya. Kini ia terlalu tegar untuk dikalahkan masa depan yang selalu tak pasti.
Ada masa ketika ia menautkan harapan pada bintang-bintang untuk memberi terang jalan. Ia pernah mendengar cerita bintang menuntun orang-orang Majus memberi hormat pada bayi Kristus. Mungkin memang nasib kita tertakik pada gemintang, ia tidak pernah tahu pasti, tapi dulu ia percaya. Kini ia memang masih memandangi bintang, hanya untuk menempatkan dirinya pada perspektif yang jelas bahwasanya ia terlalu kecil untuk menjadi sesuatu di alam semesta yang luas. Kini pada gemintang ia larut, ia hilang, dan menemukan dirinya kembali.
Tak terasa ia sudah sampai pada hisapan penghabisan. Tapi pikirannya masih mencoba mengingat kapan perjalanannya dimulai, entah berapa lorong disusurinya dan pelabuhan-pelabuhan asing disinggahinya. Mungkin sudah terlalu lama hingga kekasih hatinya tak lagi menunggunya. Ia kini menyusuri lorongnya sendiri, bersama seorang yang ia tak kenal.
Puntungnya ia lempar dan berharap terjatuh pada tempat sampah dekat tiang listrik, ia berharap saja dapat berjumpa dengannya di suatu waktu di senja yang baik, mungkin di suatu taman kota, duduk bersama memandang langit senja, menikmati bintang timur dan suara adzan yang mendayu.
Tanpa kepedihan, hanya kerinduan.
Bangkok, 25 Juli 09
No comments:
Post a Comment