
Matahari membakar aspal jalan tanpa ampun, mengirim hawa panas menembus pori-poriku. Keringat meleleh menembus kaos yang tak lagi jelas warnanya. Bus kota yang berkejaran seolah tak sabar pada lampu jalan yang berubah merah. Klaksonnya menghambur tanda tak setuju, tapi tak berdaya.
Sudah persimpangan ketiga kulewati, aku berjalan terus maju. Bukan karena aku tahu jalan, atau arah pasti yang kutuju. Aku hanya segan berbelok, rasanya kelok jalan selalu menyimpan kerumitan-kerumitan baru. Aku mengalihkan langkahku pada bayang-bayang gedung tinggi, menghindari matahari yang meradang. Jam sudah sore, tapi panas masih meraja.
Seseorang dari balik box telepon umum menyapaku. Mungkin seseorang tapi aku tak tahu pasti, tak kupalingkan muka padanya. Hanya suaranya terdengar berat ”Mau kemana, Dik?” Aku bergumam menjawab, tak jelas tentunya. Aku memang tak hendak menjelaskan pada sembarang orang yang berdiri di balik sembarang telepon umum.
Apalagi jaman kini, rasanya susah untuk percaya sembarang orang di sembarang waktu seperti ini. Kita tak pernah tahu apa arti tanyanya, mungkin saja ia menyimpan niat busuk, mungkin saja. Aku melangkah lebih cepat, meninggalkan tanyanya. Aku menolak sembarang orang menanyakan kemana aku melangkah.
Kakiku memang terasa lebih berat kini. Memang pernah terpikir untuk mengambil jalan pintas dengan menumpang bus kota. Dua jam lalu aku berdiri di halte bis bersama dengan serombongan taruna tentara, seorang bocah dengan seragam sekolah, dan seorang ibu tengah baya yang menjinjing dua buah kantong plastik besar berwarna merah. Tapi tanda-tanda bis kota tak kupahami, hanya berupa angka-angka. Sebentar-sebentar lewat mini bus hijau dengan nomer 44, aku tak tahu itu kemana. Lalu berurutan bus kota nomer 1, 17 dan 143. Aku coba bertanya pada kondekturnya, tapi tak ada kondektur yang mengerti bahwa aku sedang bertanya. Mereka membiarkan aku bicara, seolah radio, tanpa perlu mereka membalas.
Aku menyeberang jalan, memang ini bukan penyeberangan, tak ada tanda zebra cross disitu, tapi aku tak perduli. Aku menyeberang saja, toh dalam hidup tak seharusnya kita menggantungkan terlalu banyak harapan pada tanda-tanda.
Di seberang jalan adalah pintu masuk ke taman kota, bayangan rindang pohon pada rumput hijau menggodaku untuk masuk. Taman yang tak terlalu besar rupanya, serasa seisi kota menumpahkan sesaknya disini. Berderet-deret penjual minuman dan makanan kecil mencoba menawarkan jajanannya padaku. Kubeli air dingin dalam botol tanpa terlampau perduli apa mereknya.
Mataku lalu tertumbuk pada sekumpulan anak muda dengan rambut berwarna-warni. Mereka memasang musik, bertepuk tangan menyemangati. Rupanya sedang menari Cappoeira, sebentar-sebentar mereka berjumpalitan. Bergantian satu-persatu unjuk kebolehan. Kerumunan orang segera terbentuk dan menghalangi penglihatanku.
Aku berlalu, kulewati sepasang sejoli yang sedang bertengkar. Sebenarnya aku tak tahu pasti apakah mereka sepasang sejoli, tapi mereka sedang bertengkar. Kupalingkan wajah menolak menjadi saksi pada pertengkaran yang tak kupahami.
Di pojok taman, pada sebuah bangku yang penuh coretan, aku duduk meneguk air dingin dalam botol, kesegaran sedikit mengalir pada kerongkongan yang penuh kegelisahan. Kudengar alunan suara gadis di seberangku, suaranya mengalun bersama bunyi semacam gitar. Tapi tak kudengar lagu populer dari mulutnya, kudengar ia sedang merapal mantra, sebuah kalimat dari jaman lampau.
Aku terkesima, tiba-tiba ia berdiri dan menari. Kakinya menghentak seirama mantra. Tiba-tiba aku mendengar suara tabla, dan gemerincing gelang kaki, dan semerbak dupa sewangi melati. Ia terus meliuk memainkan lakon yang terasa akrab bagiku. Ia terus memutar tubuhnya, liuknya merapal mantra, mengubah kepulan kata meretas makna. Matanya terus menatap lurus padaku. Tak hendak kupalingkan penglihatanku dari sesuatu yang terasa akrab bagiku, lagi aku merasa tak sopan telah mencuri pandang pada tariannya.
Ia menghampiriku, dan aku mengulurkan tanganku. Ia menjabat tanganku dengan kedua tangannya dan mendekapnya pada dadanya. Sesaat aku tahu, sesuatu yang tak kuingat tapi aku tahu waktu ia berkata ”aku Kali, senang bertemu denganmu, selalu”.
Dan matahari pun berpasrah pada Cakrawala, hanya menyisakan lembayung senja menggantung. Gelap sebentar kemudian meraja.
Bangkok, 1 Maret 2009
No comments:
Post a Comment