Life is a celebration of infinite possibilities!


Siddharta

Siddharta bertanya kepada Channa kusirnya, "Mengapa orang itu terbujur di atas tandu? Mengapa orang-orang berteriak-teriak begitu?" Channa menjawab bahwa orang yang terbujur di tandu itu sudah mati. Badannya terbujur kaku dan akan segera membusuk. Keluarga dan para sahabat mengantarnya ke tempat pembakaran mayat untuk dikremasi. Mereka menangis tersedu-sedu karena merasa sedih, merasa kehilangan. "Channa, apakah aku juga akan seperti dia? apakah istri dan anakku akan mati?". Dengan rasa takut Channa menerangkan bahwa majikannya juga tak terhindar dari kematian, semua yang hidup tak bisa berpaling dari kematian. Bahkan raja agung yang besar kuasanya pun suatu saat nanti akan mengalami kematian.
Siddharta terdiam, perasaannya tak tenang. Hari ini ia telah melihat peristiwa-peristiwa yang tak pernah dilihatnya. Bahwa orang itu menjadi tua, kulitnya keriput, badannya bungkuk dan rambutnya memutih. Bahwa orang itu bisa sakit, sungguh menakutkan bayangan penderita kusta yang baru saja dilihatnya. Kulitnya mengelupas dan berbau busuk. Ia dikerubungi lalat dan ditinggalkan keluarga dan orang-orang yang disayangnya dipinggir jalan. Dan kini ia melihat orang mati.

Tak sanggup rasanya ia membayangkan anak dan istrinya akan tua, sakit dan akhirnya mati. Rasa takut merayap bagai awan gelap menutup sinar mentari, Siddharta gentar akan kematian. Ia tidak mau mati, ia mencintai hidupnya, anak dan istrinya, ayahanda dan ibundanya, dan kerajaan yang akan diwarisinya. Ia menolak percaya bahwa tak ada kemungkinan untuk menghindar dari ini semua. Ia tak percaya omongan kusirnya, bahwa semua yang hidup pada akhirnya mati. Ia bertekad untuk mencari jalan, mencari obat atau apa saja yang dapat menghindarkan diri dan keluarganya dari usia tua, sakit dan kematian.

Channa merasa bersalah telah membawa majikannya keliling kota sehingga majikannya melihat hal-hal buruk dalam hidup ini. Tapi semuanya telah terjadi, tak ada yang dapat dilakukannya kini selain membawa majikannya pulang ke istana. Mungkin para pelawak dan penari istana dapat membuat majikannya kembali tertawa. Channa memacu kudanya.

Dekat gerbang istana, Siddharta melihat seorang pertapa. Ia tak pernah melihat pertapa, ia menyuruh Channa untuk berhenti. Siddharta turun dari keretanya, mendekati pertapa tersebut. Raut wajahnya tenang, tatapan matanya teduh. Siddharta bertanya kepada pertapa tersebut siapa dan apa pekerjaannya. Sang pertapa tersenyum dan berkata, "Saya pencari jalan, Saya melatih badan dan pikiran untuk mencapai kesempurnaan".

Sesampainya di istana, Siddharta menghabiskan waktunya dalam kegelisahan. Pengalaman yang ditemuinya di luar gerbang istana tak dapat ia tepis. Pertapa yang ditemuinya memberi inspirasi bahwasanya ia pun harus mulai melatih dirinya, harus mulai mencari jalan kehidupan, obat untuk mengatasi usia tua, sakit dan kematian. Tekadnya semakin hari semakin membara, sampai suatu malam ia memutuskan untuk pergi meninggalkan istana. Ia memandangi anak dan istrinya yang tertidur, ia bahkan tak berani memberikan ciuman perpisahan karena takut akan membangunkan mereka. Dalam hatinya ia berjanji untuk membawa pulang obat yang akan membebaskan mereka dari tua, sakit dan kematian.

Berselimut gelap malam, Siddharta memacu kudanya ke arah hutan. Ia memulai perjuangan panjangnya mencari jalan kehidupan. Guru-guru terkemuka ia datangi, dengan cepat ia belajar dan menguasai berbagai metode pertapaan. Tapi tak satupun yang mampu memuaskan hatinya, apapun hasil yang dicapainya, tak mampu membebaskan ia dari ketidakkekalan. Siddharta merasa ia harus mencari jalannya sendiri, tak ada guru yang dapat menunjukkan jalan itu padanya.

Bersama dengan lima orang temannya dalam pertapaan, Siddharta mengasingkan diri di hutan Uruvela. Siddharta berkeyakinan bahwa untuk mencapai kesempurnaan, ia harus memusnahkan semua penderitaan. Maka mulailah ia menyiksa diri, ia mengurangi makan dan minumannya hingga sejumput rumput dan setetes embun setiap harinya. Badannya melemah, kulitnya kusam, otot tubuhnya menciut. Ia bahkan dapat menyentuh tulang punggungnya dari perut. Sampai suatu hari, tubuhnya tak sanggup lagi menahan derita. Siddharta kolaps, pingsan dan hampir mati.

Beruntung ia ditemukan oleh seorang penggembala kambing, yang segera memeras susu kambing dan memberi Siddharta minum. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Dunia serasa berputar, badannya lemah, pikirannya tak bisa ia konsentrasikan. Siddharta duduk bersandar pada batang pohon, tak tahu apa yang akan dilakukannya. Sampai sore menjelang, serombongan pemusik jalanan berteduh tak jauh dari tempat ia duduk. Para pemusik itu menghabiskan waktunya dengan bermain kecapi, kendang dan seruling. Kemudian mereka bernyanyi "bila senar gitar dipasang terlalu kendur, suaranya tak terdengar. Bila senar gitar dipasang terlalu tegang, senar akan putus dan suara pun hilang. Pasanglah senar gitar dengan tepat, maka ia akan menghasilkan suara yang indah".

Siddharta mendengarkan nyanyian tersebut, syairnya menyadarkan bahwa ia hampir saja memutuskan senar gitarnya dengan bertapa menyiksa diri. Ia berkeyakinan bahwa ia pun harus mencari jalan yang pas, seperti juga senar gitar, untuk mencapai kesempurnaan. Tapi bagaimana?

Siddharta mulai menyeimbangkan makanan dan minumannya, untuk melatih pikiran, badan tak bisa dibiarkan terlalu senang ataupun terlalu sakit. Ia mulai memusatkan kesadarannya pada napasnya. Ia melatih pikirannya pada napasnya sendiri, ia terus melatih kesadarannya pada keluar masuknya napas, ia sadar bila bernapas panjang, atau saat ia bernapas pendek.

Teman-teman pertapaannya melihat perubahan yang terjadi dalam diri Siddharta, mereka kecewa. "Siddharta telah gagal, ia telah menyerah" begitu pikir mereka. Kemudian mereka meninggalkan Siddharta sendiri dalam perjuangannya.

Perlahan Siddharta mampu melatih pikirannya mencapai ketenangan dan kebahagiaan, dari kondisi demikian ia mulai menganalisa pikirannya, kesadarannya, semua fenomena timbul dan tenggelam. Semua yang eksis, bertahan, kemudian lenyap. Semuanya tidak kekal dan ketidakkekalan ini menimbulkan ketidakpuasan, menimbulkan derita. Siddharta menyadari semuanya tanpa inti, tanpa jiwa. Dari kesadaran ini, ia mencapai kesadaran. Ia telah menemukan jalan yang dicarinya, ia telah sampai ke pantai seberang.

"hindari perbuatan buruk, perbanyaklah kebajikan, latih dan sucikan kesadaran, itu ajaran semua buddha"

Bangkok, 20 Januari 2010








No comments:

Post a Comment