Life is a celebration of infinite possibilities!


Tentang Pembangunan 1

Para pakar sejarah, antropologi dan arkeologi memberikan kita tinjauan ke masa lampau. Tanpa mereka, kita hanya akan tahu bahwa piramid-piramid itu ada di Mesir, atau Petra di Jordan, atau Colloseum di Yunani, atau Tembok Besar merentang sepanjang pegunungan di China, atau Angkor Wat di Kamboja, atau Borobudur di Jawa. Tapi kita tak akan pernah tahu "cerita" dibalik peninggalan-peninggalan tersebut, siapa yang membangunnya, bagaimana suatu bangsa mengorganisasi pembangunannya, bagaimana membiayai pembangunannya, dan detail-detail lainnya.

Dari hasil dedikasi intelektual para ahli tersebut dalam merekonstruksi cerita masa lampau terungkap bahwa bangsa-bangsa datang silih berganti. Penguasa bangkit dan memimpin rakyatnya menaklukan daerah-daerah sekitarnya, mengkonsolidasikan kekuasaannya, memulai pembangunan-pembangunan dalam skala ego-maniak untuk menunjukkan kekuasaannya dan meninggalkan catatan untuk kita kenang sekarang. Peninggalan-peninggalan bersejarah yang sampai kini membuat kita ternganga karena skala pembangunannya tidak terbayangkan oleh kita saat ini. Bagaimana sebuah bangsa lebih dari 2 ribu tahun lalu membangun piramid, bagaimana mereka memotong, mengangkut dan menyusun bongkahan batu-batu yang beratnya masing-masing mencapai 2 ton tanpa peralatan yang kini kita miliki. Bagaimana raja-raja di Jawa mengorganisir pembuatan Prambanan atau Borobudur, atau kaisar-kaisar China membangun tembok besar untuk menahan serbuan musuh-musuh mereka dari Utara.

Kesimpulan yang bisa kita tarik adalah siapapun yang memerintahkan pembangunan dalam skala ego-maniak tersebut memiliki sumber daya, baik manusia maupun kekayaan, yang diperlukan. Waktu yang dibutuhkan untuk pembangunan tersebut bisa merentang masa lebih dari 2 atau 3 generasi. Dengan kata lain, kita bisa menyimpulkan bahwa keadaan masyarakatnya stabil, dengan kecukupan sandang pangan. Bagaimana seorang penguasa di masa lampau menjamin ketersediaan sumber daya yang kecukupan bagi bangsanya, sehingga memungkinkan mereka membangun peninggalan-peninggalan tersebut?

Kerajaan-kerajaan di masa lampau selalu dibangun oleh kekuatan senjata. Seorang yang sangat bertalenta mengorganisir pasukan untuk merebut kekuasaan dari raja yang sedang berkuasa saat itu, atau untuk menyatukan suku-suku yang tersebar. Ada adagium yang mengatakan bahwa raja yang pertama pastilah seorang jenderal perang. Kekuatan senjata merupakan faktor yang sangat menentukan, untuk tidak mengatakan sebagai satu-satunya faktor penentu, dalam menegakkan kekuasaan. Dengan kekuasaan yang diperolehnya dari kekuatan senjata, seorang penguasa kemudian mencari legitimasi bagi dirinya untuk melanggengkan kekuasaannya. Biasanya para raja yang berkuasa mendapatkan legitimasinya dengan mengklaim dirinya sebagai bagian kekuatan supranatural atau mendapat mandat untuk berkuasa dari dewa-dewa. Raja-raja China mendapat mandat Langit untuk berkuasa, begitu pula Kaisar Jepang adalah keturunan dari Amaretasu Omikami, Dewi Matahari, begitu pula para Fira'un, begitu pula raja-raja India dan Jawa.

Kita pernah mendengar kisah Ken Arok, yang berkat kesaktiannya berhasil membunuh Tunggul Ametung, Bupati Tumapel dan kemudian meluaskan kekuasaannya ke daerah sekitarnya dengan menaklukan penguasa-penguasa lokal dan kemudian menobatkan dirinya menjadi Raja Singosari. Atau seorang Chin Shih Huang-Ti, yang memimpin pasukannya menaklukan seluruh wilayah China pertama kali. Atau Napoleon Bonaparte, jenderal perang Perancis yang menaklukan Eropa dan kemudian menobatkan dirinya sebagai Kaisar Perancis. Atau Adolf Hitler yang membangun angkatan perang Jerman, menginvasi Eropa dan menobatkan dirinya sebagai kaisar dari The Third Reich. Catatan demi catatan sejarah menunjukkan bahwasanya kekuatan senjata menjadi faktor utama bagi seorang penguasa untuk merebut kekuasaan.

Kekuasaan yang diperoleh dengan kekuatan senjata, dilestarikan pula dengan kekuatan senjata. Setelah seorang penguasa berhasil merebut kekuasaan, setelah perang berhasil dimenangkan, maka dimulailah periode membangun kestabilan. Periode ini diperlukan selain untuk menyembuhkan luka-luka perang, memulihkan kekuatan angkatan perang atau bahkan membangun angkatan perang yang lebih besar. Penguasa akan berupaya menciptakan kestabilan dalam pemerintahan untuk memberikan waktu bagi tumbuhnya perekonomian. Dalam kestabilan pemerintahan, para petani memiliki waktu untuk bercocok tanam, nelayan dengan tenang pergi melaut, dan para pedagang berdatangan dari negeri yang jauh. Dari perekonomian yang berkembang tersebut, penguasa akan memetik hasilnya melalui pengenaan berbagai pajak. Negara yang kacau terus menerus tidak memungkinkan untuk akumulasi kekuatan dan pada akhirnya akan ditaklukan oleh penguasa lainnya yang lebih kuat.

Dalam masa damai pula, sebagian orang menghabiskan waktunya untuk mempelajari hal-hal baru, ilmu dan pengetahuan berkembang, peralatan-peralatan baru tercipta, termasuk peralatan perang. Para raja yang berkuasa akan berupaya untuk memastikan kekuatan angkatan perangnya di masa damai. Angkatan perang yang tangguh memastikan kelangsungan kekuasaan dengan meniadakan ancaman baik domestik maupun ancaman dari luar wilayah yang berpotensi menciptakan ketidakstabilan bahkan menumbangkan kekuasaannya.

Perkembangan teknologi di belahan bumi Eropa pada abad 16-an bertanggung jawab atas timbulnya kolonialisme dan imperialisme Eropa. Dengan kapal-kapal laut yang mampu mengarungi lautan luas dan dilengkapi dengan persenjataan yang modern saat itu, para pelaut Eropa memulai eksplorasi ke dunia belahan timur (Asia) dan Afrika untuk mencari rempah-rempah yang tinggi nilainya di pasar Eropa saat itu. Eksplorasi para petualang ini awalnya bermotif dagang, sesuai dengan semangat merkantilisme yang berkembang di Eropa saat itu. Setelah menemukan sumber rempah-rempah tersebut, dan dengan didorong oleh ketamakan untuk melakukan monopoli, dimulailah periode kolonialisasi. Para pedagang Eropa berkolaborasi dengan penguasanya memaksakan klaim mereka terhadap kerajaan-kerajaan di timur. Satu persatu kerajaan-kerajaan ini tumbang ke tangan para kolonialis Eropa.

Pada awalnya para kolonialis Eropa ini saling bersaing dan berebut klaim atas kerajaan-kerajaan di timur, tetapi pada akhirnya mereka menyadari bahwa peperangan di antara mereka untuk memperebutkan daerah jajahan adalah tidak berguna dan hanya membuat kerugian. Maka disusunlah kesepakatan di antara mereka, dengan membagi masing-masing wilayah kolonial. Di Asia, Kerajaan Inggris sebagai kerajaan terkuat di Eropa saat itu menguasai India, Burma (Myanmar), Ceylon (Sri Lanka), wilayah yang kini bernama Malaysia dan sebagian China. Perancis menguasai Indo-China, Spanyol menguasai kepulauan yang kini merupakan wilayah Philipina, Belanda menguasai nusantara yang kini merupakan wilayah Republik Indonesia, dan Portugis menguasai Timor dan Macau. Hal yang serupa juga terjadi di belahan bumi Afrika, dimana para kolonialis ini membagi-bagi wilayah kekuasaan dengan tujuan memaksimalkan keuntungan yang bisa mereka keruk.

Klaim paksa para kolonialis ini bukan tanpa perlawanan dari para penguasa lokal, tapi dengan keunggulan angkatan perangnya, para penguasa lokal ini tidak berdaya. Periode penjajahan para kolonialis Eropa ini merupakan periode yang sangat jelas menggambarkan bahwasanya kemakmuran suatu bangsa dapat dicapai dengan kekuatan senjata.

Sepertinya dunia memang tak pernah mau berhenti bercerita. Pada akhirnya episode para kolonialis dan imperialis Eropa ini berakhir. Sebab-sebab berakhirnya kejayaan para imperialis dan kolonialis ini diawali dengan revolusi industri di Inggris pada akhir abad ke-18. Revolusi ini berawal dari ditemukannya mesin uap yang pengaplikasiannya mengubah wajah perekonomian dan struktur sosial dengan munculnya kelas baru yang berpengaruh, yakni para kapitalis dan kaum buruh. Dua kekuatan baru ini mengguncang legitimasi kekuasaan para raja. Setelah berbagai pergolakan, kekuasaan mutlak para raja-raja Eropa akhirnya berakhir setelah Perang Dunia Pertama berakhir pada awal abad ke-20. Walaupun demikian, sistem kolonialisme terhadap negara-negara di Asia dan Afrika terus berjalan. Kolonialisme ini baru berakhir setelah akhir Perang Dunia Kedua berakhir.

Perang Dunia Kedua (PD 2), diawali dengan kemenangan Partai Nazi di Jerman dibawah pimpinan Adolf Hitler. Dengan mengobarkan semangat ultra-nasionalis, Hitler membangun angkatan perangnya. Hitler sangat yakin dengan keunggulan teknologi angkatan perangnya dan memulai invasinya terhadap hampir seluruh Eropa pada 1 September 1939 dengan menyerang Polandia. Setelah itu, laju tentara Nazi seperti tak terbendung, satu persatu wilayah Eropa dikuasai, Perancis, Italia, Belanda, Spanyol. Hanya Inggris dan Rusia yang bertahan dari gempuran Hitler, walaupun tampaknya tak akan bertahan lama.

Di belahan dunia lainnya, pada saat yang hampir bersamaan, Jepang mulai menyerang Rusia (1938), menginvasi China (1939), dan memulai invasinya keseluruh wilayah Indo-China, Thailand, Malaysia, Burma, Singapore, Philipina, dan Indonesia. Untuk menetralisasi ancaman terhadap keberhasilan invasi ini, Jepang perlu untuk memusnahkan kekuatan Amerika Serikat di wilayah Asia yang berpangkalan di Pearl Harbour (Hawaii), yang mampu menyerang kepulauan Jepang. Serangan balatentara Jepang,  yang dengan keunggulan persenjataannya tidak dapat ditahan oleh pasukan para kolonialis, mengakhiri periode kekuasaan kerajaan-kerajaan Eropa di wilayah Asia.

PD2 ini tidak berlangsung lama, setelah serangan Jepang terhadap angkatan perangnya, Amerika terseret ke dalam peperangan. Di Eropa, pasukan Amerika bersekutu dengan pasukan Inggris dan mulai menyerang Eropa melalui pendaratan di Normandia. Pada saat yang sama, pasukan Rusia memukul balik serangan Hitler ke Rusia. Pada akhirnya, Hitler kehabisan sumber daya untuk memenangkan perang di dua front sekaligus dan memilih menembak kepalanya sendiri ketika pasukan sekutu dan pasukan Rusia berhasil menguasai Berlin. Amerika dan Rusia yang berhadap-hadapan di Berlin memilih untuk menghentikan peperangan dan membangun tembok yang membelah kota Berlin untuk mencegah kedua pasukan terlibat peperangan. Kesepakatan untuk berdamai ini menandai dimulainya Perang Dingin di antara keduanya.

PD2 baru benar-benar berakhir setalah Amerika mengebom Hiroshima dan Nagasaki dengan nuklir. Sebuah keunggulan teknologi tempur Amerika atas Jepang, yang diciptakan karena ketakutan pihak sekutu akan kemungkinan berhasilnya Hitler membuat bom nuklir. PD2 menunjukkan bahwasanya penguasaan teknologi adalah vital untuk membangun kekuatan sebuah negara.


Sebagai pihak pemenang perang, Amerika dan Rusia, mendominasi dunia. Keduanya terlibat dalam perlombaan persenjataan, karena keyakinan bahwa pada akhirnya dua superpower ini akan berperang. Suatu kenyataan yang absurb karena dengan kekuatan nuklir yang dimiliki keduanya, dunia tak akan bisa ditempati makhluk hidup apapun bila perang nuklir benar-benar terjadi. Periode perang dingin juga menandai akumulasi modal di negara-negara pemenang perang dan sekutunya.

Dunia kembali sibuk menjalin kisah yang berisi dengan berbagai peristiwa di seputar persaingan antara 2 super-power ini. Dengan kestabilan dalam masa Perang Dingin, kemajuan ilmu dan teknologi tak terbendung. Rusia mengirimkan misi ke luar angkasa, yang kemudian segera dijawab tuntas oleh Amerika yang berhasil mendaratkan manusia di bulan.

Persaingan ideologi dan perluasan pengaruh di antara keduanya pun sengit terjadi. Kedua super-power ini mewakili ideologi besar yang saling bertolak belakang. Amerika percaya pada dalil Adam Smith, bahwasanya kesejahteraan suatu bangsa terakumulasi karena masing-masing individu yang hidup di dalamnya memiliki kebebasan untuk mengejar kepentingan pribadinya. Sedangkan Rusia meyakini bahwasanya kemakmuran suatu bangsa ditentukan oleh daya yang dihasilkan oleh perjuangan kaum proletar (kaum yang hanya bermodal dengkul, tanpa modal kapital atau sumber daya alam) dalam memperbaiki nasibnya.

Amerika meyakini bahwa individu-individu harus dilindungi kepentingannya, properti dan kapital miliknya, dan diberikan kebebasan untuk berusaha sebesar mungkin untuk mengakumulasi kapital miliknya. Demokrasi sebagai bangun politiknya mengakomodasi kepentingan ini. Pemerintah kemudian akan memungut pajak dari individu-individu ini untuk menyelenggarakan pemerintahan, termasuk memastikan keunggulan angkatan perangnya. Sedangkan, Uni Soviet berupaya mengendalikan dan mengarahkan daya yang dihasilkan oleh perjuangan kelas ke arah kemakmuran. Negara menjadi sangat dominan karena menentukan segala tindakah individu-individu yang menjadi warganya. Alokasi sumber daya, termasuk untuk angkatan perang ditentukan oleh negara.

Kedua super-power ini berlomba-lomba menancapkan pengaruhnya ke negara-negara lain. Riak-riak sejarah dari persaingan ini meliputi tragedi Perang Vietnam, dimana Amerika mati-matian mempertahankan Vietnam Selatan (yang masih dikuasai oleh Perancis) serbuan pasukan Vietnam Utara yang didukung oleh komunis Rusia. Atau Perang Korea yang sampai kini tak kunjung selesai, konflik Amerika dengan Kuba, bahkan sampai pada upaya-upaya penggulingan penguasa-penguasa yang memihak salah satu kubu. Konon, kejatuhan Bung Karno dari tampuk kekuasaannya juga berlatar belakang Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet.


Perang Dingin, walaupun tanpa perang frontal, adalah perang yang sangat menguras sumber daya kedua Super-power. Walaupun pada akhirnya sejarah mencatat Rusia mengalami kebangkrutan terlebih dahulu. Pada tahun 1991, Uni Soviet bubar. Negara-negara yang tergabung dalam Uni Soviet terpecah-pecah dan bahkan terlibat dalam konflik bersenjata yang menelan jutaan korban jiwa. Hingga saat ini, tidak ada satupun negara bekas pecahan Uni Soviet, termasuk Rusia sebagai negara yang terbesar, mampu untuk menstabilkan sistem pemerintahannya. Perekonomian ambruk, pengangguran merajalela, dan kekacauan hukum melanda. Pecahnya Uni Soviet merupakan permasalahan global yang luar biasa besar, mengingat negara-negara pecahan Uni Soviet tersebut memegang persenjataan nuklir yang dikhawatirkan akan jatuh ke tangan kelompok-kelompok garis keras yang saat ini semakin menunjukkan aktivitasnya. Kekacauan hukum, politik dan kemiskinan merupakan ramuan yang sangat manjur untuk mendorong terjadinya korupsi dan pembobolan aset negara.

Pengalaman hancurnya Uni Soviet, merupakan pelajaran berharga bagi China. Para pemimpin China menyadari bahwa sistem ekonomi dan politik yang berdasarkan pada komunisme dan kontrol negara tidak akan bertahan. Pemerintah China mencoba mencari jalan lain untuk memastikan bahwa negaranya tidak mengalami nasib yang sama dengan Uni Soviet, sekaligus mencari jalan menuju kemakmuran. Saat ini dunia memandang China dengan perasaan yang sama ketika pada tahun 1980-an, Jepang berhasil menantang dominasi Amerika dalam perekonomian dan perkembangan teknologi.

China secara signifikan mampu membangun kekuatan militer, perekonomian dan kemampuannya dalam kancah ilmu pengetahuan. Seperti juga Jepang yang mampu membangun kembali negaranya yang hancur karena PD2. Akan tetapi jalur menuju kemakmuran yang coba diterapkan oleh China secara struktural berbeda dari Jepang. Kita akan kembali pada topik ini pada kesempatan lain.

Setelah bangkrutnya Uni Soviet sebagai sebuah super-power, Amerika melenggang sendirian mendominasi dunia. Tak ada angkatan perang negara manapun di dunia ini yang mampu menandingi kemampuan tempur angkatan perang Amerika secara frontal. Hanya Amerika pulalah yang mampu memobilisasi angkatan perangnya ke seluruh pelosok dunia. Tak ada tempat sejengkal pun di dunia ini yang tak bisa dijangkau oleh pasukan tempur dan peluru kendali milik Amerika Serikat.

Selama periode 1990 (bangkrutnya Uni Soviet)  sampai dengan serangan Al Qaeda ke gedung WTC di New York pada 11 September 2001, Amerika mendominasi dunia. Segala urusan global memerlukan "persetujuan" Washington. Amerika adalah suara yang tak bisa diabaikan dalam seluruh organisasi global, mulai dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, IMF, Bank Dunia, WTO, NATO, bahkan APEC (dimana Indonesia merupakan salah satu anggota). Pada saat krisis keuangan melanda negara-negara Amerika Latin dan Asia, Amerika memegang peran penting dalam berbagai tindakan yang diambil oleh IMF dan Bank dunia dalam menangani krisis tersebut. Amerika juga berhasil mengorganisir dunia untuk melawan invasi Irak atas Kuwait dalam Perang Teluk 1 (dengan persetujuan PBB), bahkan tanpa persetujuan PBB pun Amerika mampu menginvasi Irak (kembali) pada Perang Teluk 2, serangan yang ditengarai bermotivasi untuk menjamin pasokan minyak bagi Amerika.

Perekonomian Amerika tumbuh pesat dan tampaknya akan terus berkembang. Perusahaan-perusahaan Amerika tampaknya berhasil merebut kembali peran mereka sebagai perusahaan global setelah sempat tertinggal dari Jepang dan Jerman. Revolusi teknologi informasi dan komunikasi melahirkan perusahaan-perusahaan raksasa seperti Microsoft, IBM, Yahoo!, Google, Intel, Dell, Sun Microsystem, dan lain-lain. Silicon Valley di selatan San Francisco berkembang menjadi pusat perusahaan-perusahaan click and mortar tersebut.

Amerika juga menjadi pusat keuangan dunia, dengan bursa finansial yang tumbuh pesat, perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam bisnis finansial juga menikmati pertumbuhan luar biasa pesat. Perusahaan-perusahaan corporate banking Amerika seperti Goldman Sach, Morgan Stanley, Lehman Brothers, etc dan commercial banking seperti Citibank, BoA, etc merupakan market maker dan pengelola dana-dana kapitalis global. AIG tumbuh menjadi perusahaan asuransi terbesar di dunia.

Dominasi Amerika dan kestabilan sistem pemerintahannya yang mampu menjamin perkembangan perekonomian terguncang setelah serangan Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden ke jantung kapitalis Amerika pada tanggal 11 September 2001 (Serangan 11/9). Serangan ini mengungkap kelemahan mendasar dari kekuatan super power Amerika yang dengan keunggulan angkatan perangnya, termasuk jaringan intelejennya, ternyata tidak mampu melindungi dirinya dari serangan sekelompok orang yang tidak memiliki definisi teritorial yang jelas, dan tidak menguasai angkatan perang secara signifikan.

Kelemahan pada dominasi Amerika kembali terungkap pada tahun 2008, setelah mengalami beberapa kali periode boom-bust, perekonomian Amerika akhirnya hancur berantakan, kredit yang disalurkan oleh berbagai institusi keuangan ternyata merupakan gelembung ekonomi yang luar biasa besar karena ekspansi kredit tersebut didasari pada asumsi nilai properti yang terus-menerus naik. Pada saat gelembung ekonomi tersebut meletus, pasar dilanda kepanikan dan sistem finansial Amerika (dan dunia) berada diambang kebangkrutan. Hal ini memaksa pemerintah Amerika turun tangan untuk menyelematkan sistem kapitalismenya. Bail out besar-besar diberikan kepada raksasa-raksasa finansial untuk mencegah hancurnya sistem kapitalis. Sebuah ironi karena kapitalisme meminggirkan peran pemerintah dalam perekonomian, dan pada untuk mencegah kapitalisme hancur, pemerintah harus turun tangan untuk menyelamatkannya.

Apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada Amerika? satu-satunya negara super-power yang tersisa, yang dengan dominasi militernya kita mengharapkan kestabilan dunia dapat tercipta. Amerika terlilit hutang yang luar biasa besar, pihak swastanya berhutang, rakyatnya berhutang, pemerintahnya berhutang dalam skala yang sangat besar. Para ahli ekonomi telah memperingatkan bahwa skala hutang Amerika saat ini tidak sustainable, dalam arti berbahaya bagi kelangsungan perekonomian Amerika. Pendapatan pemerintah dari pajak tak lagi mencukupi anggaran belanja negara, hal yang menyebabkan pemerintah Amerika perlu terus berhutang untuk menutupi kekurangannya. Ditambah lagi dengan permasalahan pada sistem jaminan sosialnya yang kini dalam keadaan kritis karena dana yang tersedia tidak cukup untuk generasi "baby boomers" yang akan mulai memasuki masa pensiun.

Sampai dengan terpilihnya Barrack Obama sebagai Presiden di tahun 2009, Amerika terlibat perang di Irak (Perang Teluk 2), perang di Pakistan/Afganistan dan War on Terror terhadap jaringan Al Qaeda. Perang di Irak hanya sukses dalam menggulingkan Saddam Hussein. Apa yang terjadi setelah itu berjalan tidak seperti yang direncanakan. Kekacauan demi kekacauan terus terjadi dan Amerika tidak berhasil menciptakan keuntungan ekonomi dari perang tersebut. Perang di Afganistan dan War on Terror pun mengalami nasib yang sama, berkepanjangan tanpa hasil yang jelas.Obama berketetapan hati untuk menghentikan perang di Irak, yang menurut perhitungan para ekonom merupakan proyek besar pasak daripada tiang bagi perekonomian Amerika. Obama juga terus mengupayakan strategi untuk keluar dari Pakistan. Hanya perang terhadap teror yang terus dilanjutkan, yang hasilnya masih harus kita tunggu.

Akankah kita punya kesempatan untuk memahami apa yang sedang terjadi saat ini terhadap Amerika? Mengapa sebagai satu-satunya superpower yang tersisa, Amerika nampaknya tidak mampu menjamin kestabilan yang diperlukan untuk membangun ekonomi dan mempertahankan dominasinya, bahkan Amrika tampaknya tidak mampu untuk melindungi dirinya dari serangan sebuah kelompok yang tidak menguasai kekuatan perang? Ataukah dunia mengalami perubahan yang sangat signifikan yang terlewat untuk kita cermati?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat menarik untuk kita eksplorasi lebih jauh karena mungkin akan menyediakan jawaban bagi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara dan bangsa-bangsa yang tidak memiliki keunggulan angkatan perang, seperti Indonesia, untuk mengupayakan kestabilan bagi pembangunan perekonomian yang memakmurkan rakyatnya.

No comments:

Post a Comment