Life is a celebration of infinite possibilities!


Tentang Mati


Waktu kecil saya tak pernah bertanya tentang mati. Ya, waktu itu nenek saya meninggal karena sakit, seingat saya dia menderita kencing manis. Saya dibangunkan pagi-pagi oleh ibu saya untuk menengok nenek saya di kamarnya. Saya kini sudah lupa apakah waktu saya masuk ke kamar nenek saya, dia sudah meninggal atau belum. Nenek Saya meninggal sesudah kakek buyut saya. samar-samar saja Saya mengingatnya, kini hanya berupa penggalan-penggalan ingatan tentang upacara kematian dan penguburannya. Saya masih kecil, belum masuk sekolah dasar mungkin.

Setelah itu paman saya meninggal karena TBC. Dia mati muda, tak menikah dan tak meninggalkan banyak kenangan bagi saya. Saya hanya ingat dia pernah membuat kukus telur yang enak, dan dia pernah menggunduli kepalanya dan mengolesinya dengan mentega. Kepalanya terlihat bersinar dan menjadi bahan olok-olok ibu Saya. Setelah itu, rambutnya tumbuh subur!

Yang paling saya ingat adalah waktu ayah saya meninggal. Saya telah kuliah saat itu. Saya ingat bagaimana dia meninggal, mengingat upacara kematiannya, kremasinya dan detail-detail lainnya. Tapi entah mengapa saya tak pernah merasakan sedih yang mendalam karena kehilangan, perasaan saya mereka sedang melakukan perjalalan yang jauh.

Mati memang bukan topik untuk anda bicarakan di meja makan. Apalagi ketika anda makan bersama dengan calon mertua anda. Entah mengapa kita enggan. Mungkin karena kita diam-diam takut, atau mungkin kita sudah pasrah saja karena kematian itu pasti. Saya ingat suatu cerita tentang seorang penyair terkenal di dataran Tiongkok jaman dulu. Sang penyair begitu terkenal ke seluruh pelosok negeri, hingga suatu saat ia diundang oleh seorang bangsawan. Bangsawan ini menyiapkan jamuan mewah dan mengundang orang-orang terpandang ke rumahnya. Di tengah jamuan tersebut, sang bangsawan meminta sang penyair membuatkan suatu syair bagi kemakmuran dan kesejahteraan keluarganya. Sang penyair mengambil pena dan mulai menuliskan syair berikut:

”Kakek Mati, Ayah Mati, Anak Mati”

Sang bangsawan marah bukan kepalang ketika sang penyair membacakan dan menyerahkan karyanya. Hadirin yang mendengarkan pun terkesima dan tak percaya dengan apa yang mereka dengar. Dengan tenang sang penyair bertanya kepada sang bangsawan mengapa ia tak setuju dengan urutan yang paling alami tersebut. ”Bukankan bila anakmu mati sebelum kakeknya dan kau mati, kalian berdua akan patah hati?”

Kata Sutardji, kita menabung mati segobang-segobang. Mungkin. Tapi banyak di antara kita yang telah dan akan mendapatkan lotere. Tanpa sebab, tanpa kabar, tanpa tanda-tanda, kita meninggalkan semuanya di dunia ini. Kemana? Entahlah!


Bangkok, 28 September 2010
Dalam mati kita ada cinta, hanya cinta, dan tak boleh ada air mata

No comments:

Post a Comment